A.
KEDUDUKAN KONSTITUSI
Dalam pengertian yang sederhana, konstitusi adalah suatu dokumen yang
berisi aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi.
Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya, mulai dari
organisasi mahasiswa, perkumpulan masyarakat di daerah tertentu, serikat
buruh, organisasi-organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi
bisnis, perkumpulan sosial sampai ke organisasi tingkat dunia seperti misalnya
Perkumpulan ASEAN, European Communities (EC), World Trade Organization
(WTO), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan sebagainya semuanya membutuhkan
dokumen dasar yang disebut konstitusi.
Demikian pula negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut
sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Bahkan negara yang tidak memiliki
satu naskah konstitusi seperti Inggris, tetap memiliki aturan-aturan yang tumbuh
menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan dan para ahli tetap
dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris,
sebagaimana dikemukakan oleh Phillips
Hood and Jackson sebagai berikut” “a body
of laws, customs and conventions that define the composition and powers of the
organs of the State and that regulate the relations of the various State organs
to one another and to the private citizen.”
Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu tercakup juga
pengertian peraturan tertulis dan tidak tertulis. Peraturan tidak tertulis
berupa kebiasaan dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan
susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hubungan antar organ-organ
negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga
negara.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat
didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam
suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber
legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham
kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi.
Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power
yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem
yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah
yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Hal itu dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat, misalnya melalui referendum, seperti yang dilakukan di Irlandia pada tahun 1937, atau
dengan cara tidak langsung melalui lembaga perwakilan rakyat. Dalam hubungannya
dengan kewenangan mengubah UUD, cara tidak langsung ini misalnya dilakukan di Amerika Serikat dengan menambahkan naskah perubahan Undang-Undang
Dasar secara terpisah dari naskah aslinya. Meskipun, dalam pembukaan Konstitusi
Amerika Serikat (preambule) terdapat perkataan “We the
people”, tetapi yang diterapkan sesungguhnya adalah sistem perwakilan,
yang pertama kali diadopsi dalam konvensi khusus (special convention)
dan kemudian disetujui oleh wakil-wakil rakyat terpilih dalam forum perwakilan
negara yang didirikan bersama.
Dalam hubungan dengan pengertian constituent power tersebut di atas, muncul pula pengertian constituent act. Dalam hubungan ini, konstitusi dianggap sebagai
constituent act, bukan produk peraturan legislatif yang biasa (ordinary
legislative act). Constituent power mendahului konstitusi, dan
konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk
berdasarkan konstitusi. Seperti dikatakan oleh Bryce, konstitusi tertulis merupakan:
“The instrument in which a
constitution is embodied proceeds from a source different from that whence
spring other laws, is regulated in a different way, and exerts a sovereign
force. It is enacted not by the ordinary legislative authority but by some
higher and specially empowered body. When any of its provisions conflict with
the provisions of the ordinary law, it prevails and the ordinary law must give
way”.
Karena itu, dikembangkannya pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum
(hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau
bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu
sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum
atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip
hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya
berada di bawah Undang-Undang
Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Atas dasar logika
demikian itulah maka Mahkamah
Agung Amerika Serikat menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk menafsirkan
dan menguji materi peraturan produk legislatif (judicial review)
terhadap materi konstitusi, meskipun Konstitusi Amerika tidak secara eksplisit memberikan kewenangan
demikian kepada Mahkamah Agung.
Basis pokok berlakunya konstitusi adalah adanya kesepakatan
umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai
bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu
diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat
dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang
disebut negara. Kata
kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan
umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang
bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misalnya, tercermin
dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting
yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Amerika pada tahun 1776, dan di Rusia
pada tahun 1917, ataupun di Indonesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998.
B.
PERUBAHAN UUD 1945
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa
reformasi adalah reformasi
konstitusional (constitutional reform). Reformasi
konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak
cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan
rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan
demokrasi dan hak asasi manusia.
Perubahan UUD
1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang MPR dari
1999 hingga 2002. Perubahan pertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999. Arah perubahan
pertama UUD
1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.
Perubahan kedua dilakukan
dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000.
Perubahan kedua menghasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah,
menyempumakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan
ketentuan-ketentuan terperinci tentang HAM.
Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Perubahan tahap ini mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang asas-asas landasan
bemegara, kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan
tentang Pemilihan Umum. Sedangkan perubahan keempat dilakukan dalam
Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan Keempat tersebut meliputi ketentuan tentang kelembagaan
negara dan hubungan antarlembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung
(DPA), pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan
aturan peralihan serta aturan tambahan.
Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut
meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945
berisi 71 butir ketentuan, sedangkan
perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan. Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada
dalam UUD 1945, hanya 25 (12%) butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan.
Selebihnya, sebanyak 174 (88%) butir ketentuan merupakan materi yang baru atau telah
mengalami perubahan.
Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena
mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR
menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga
negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat
dalam lingkup wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan
Presiden yang sangat besar (concentration
of power and responsibility upon the President) menjadi prinsip saling
mengawasi dan mengimbangi (checks and
balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara yang hendak
dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis.
Setelah berhasil melakukan perubahan
konstitusional, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah pelaksanaan UUD
1945 yang telah diubah tersebut. Pelaksanaan UUD 1945 harus dilakukan mulai dari konsolidasi norma hukum
hingga dalam
praktik kehidupan berbangsa
dan bernegara. Sebagai hukum dasar, UUD
1945 harus menjadi acuan dasar sehingga benar-benar hidup dan berkembang dalam
penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution).
C.
NEGARA
HUKUM YANG DEMOKRATIS
Salah satu prinsip dasar yang
mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD 1945 adalah prinsip negara hukum,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah
negara hukum’. Bahkan secara historis negara hukum (Rechtsstaat)
adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan
dalam penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat),
tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh
para filsuf dari zaman Yunani Kuno. Plato, dalam bukunya “the Statesman”
dan “the Law” menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk
paling baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan. Konsep negara
hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah
Jerman yaitu “rechtsstaat” antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband,
Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika
konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang
dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan
istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti bahwa penentu dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai
dengan perkembangan masyarakat. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat
di era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip
negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. Saat ini, paling tidak dapat dikatakan terdapat
dua belas prinsip negara hukum, yaitu Supremasi Konstitusi (supremacy of law), Persamaan dalam Hukum (equality before the law), Asas Legalitas (due process of law), Pembatasan Kekuasaan (limitation of power), Organ Pemerintahan yang Independen,
Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak (independent and
impartial judiciary),
Peradilan Tata Usaha Negara (administrative
court), Peradilan Tata Negara (constitutional
court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-rehtsstaats), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan
Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta Transparansi dan Kontrol Sosial.
Dalam
suatu negara hukum, mengharuskan
adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip
supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai
pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam
pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi
konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan
masyarakat yang mendasarkan pada aturan hukum.
Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan
yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan
berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan
demikian, setiap perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan atau rules
and procedures.
Namun demikian, prinsip supremasi
hukum selalu diiringi dengan dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi
atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan
yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan
diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum
tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang
berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan
demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat,
melainkan democratische rechtsstaat.
Berdasarkan prinsip negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum
dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada
konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya
supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari
konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena
konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Oleh karena itu, aturan-aturan
dasar konstitusional harus menjadi dasar dan dilaksanakan melalui peraturan
perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan
masyarakat. Dengan demikian, perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar tentu
saja berpengaruh terhadap sistem dan materi peraturan perundang-undangan yang
telah ada. Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap jenis peraturan
perundangan-undangan serta materi muatannya. Adanya perubahan UUD 1945 tentu
menghendaki adanya perubahan sistem peraturan perundang-undangan, serta
penyesuaian materi muatan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada
dan berlaku.
Sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi,
konstitusi memuat cita-cita yang akan dicapai dengan pembentukan negara dan
prinsip-prinsip dasar pencapaian cita-cita tersebut. UUD 1945 sebagai
konstitusi bangsa Indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang
memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan
nasional. Pasal II
Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.
Pembukaan dan pasal-pasal adalah satu kesatuan norma-norma konstitusi yang supreme
dalam tata hukum nasional (national legal order).
Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional
yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu (a) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan
kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. Cita-cita tersebut akan dilaksanakan dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berdiri di atas lima dasar yaitu Pancasila
sebagaimana juga dicantumkan dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945.
Untuk mencapai cita-cita tersebut dan melaksanakan penyelenggaraan
negara berdasarkan Pancasila, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya
mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal ini
karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara
penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi
politik, konstitusi ekonomi, dan konstitusi sosial yang harus menjadi acuan dan
landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh negara (state),
masyarakat (civil society), ataupun pasar (market).
Sebagai konstitusi politik, UUD 1945 mengatur masalah susunan
kenegaraan, hubungan antara lembaga-lembaga negara, dan hubungannya dengan
warga negara. Hal ini misalnya diatur dalam Bab I tentang Bentuk Kedaulatan,
Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementerian Negara, Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang
Dewan Perwakilan Rakyat, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB
tentang Pemilu, Bab VIII tentang Hal Keuangan, Bab VIIIA tentang Badan
Pemeriksa Keuangan, Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab IX tentang Wilayah
Negara, Bab X tentang Warga Negara Dan Penduduk khususnya Pasal 26, Bab XA
tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 28I ayat (5), Bab XII tentang
Pertahanan Dan Keamanan Negara, Bab XV tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang
Negara, Serta Lagu Kebangsaan, Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang Dasar,
Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan.
Sebagai konstitusi ekonomi, UUD 1945 juga mengatur bagaimana sistem
perekonomian nasional seharusnya disusun dan dikembangkan. Ketentuan utama UUD
1945 tentang sistem perekonomian nasional dimuat dalam Bab XIV Pasal 33.
Ketentuan tentang sistem perekonomian nasional memang hanya dalam satu pasal
yang terdiri dari lima ayat. Namun ketentuan ini harus dielaborasi secara
konsisten dengan cita-cita dan dasar negara berdasarkan konsep-konsep dasar
yang dikehendaki oleh pendiri bangsa. Selain itu, sistem perekonomian nasional
juga harus dikembangkan terkait dengan hak-hak asasi manusia yang juga mencakup
hak-hak ekonomi, serta dengan ketentuan kesejahteraan rakyat.
Sebagai konstitusi sosial, UUD 1945 mengatur tata kehidupan
bermasyarakat terutama dalam Bab X tentang Warga Negara Dan Penduduk khususnya
Pasal 27 dan Pasal 28, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab XIII tentang
Pendidikan Dan Kebudayaan, dan Bab XIV tentang Perekonomian Nasional Dan
Kesejahteraan Rakyat khususnya Pasal 34.
D. BUDAYA SADAR BERKONSTITUSI
Kita tentunya menghendaki agar UUD 1945 merupakan konstitusi yang
benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara demi
tercapainya cita-cita bersama. Kontitusi mengikat segenap lembaga negara dan
seluruh warga negara. Oleh karena itu, yang menjadi pelaksana konstitusi adalah
semua lembaga negara dan segenap warga negara sesuai dengan hak dan kewajiban
masing-masing sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dalam perspektif hukum, kata “pelaksanaan” (implementation)
terdiri dari dua konsep fungsional, yaitu; pertama, identifying
constitutional norms and specifying their meaning; dan kedua,
crafting doctrine or developing standards of review.
Agar setiap lembaga dan segenap warga negara dapat melaksanakan
kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD 1945, diperlukan adanya
budaya sadar berkonstitusi. Untuk menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi
diperlukan pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma dasar yang menjadi
materi muatan konstitusi. Pemahaman tersebut menjadi dasar bagi masyarakat
untuk dapat selalu menjadikan konstitusi sebagai rujukan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jika masyarakat telah memahami norma-norma dasar dalam konstitusi dan
menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pasti mengetahui
dan dapat mempertahankan hak-hak konstitusionalnya yang dijamin dalam UUD 1945.
Selain itu, masyarakat dapat berpartisipasi secara penuh terhadap pelaksanaan
UUD 1945 baik melalui pelaksanaan hak dan kewajibannya sebagai warga negara,
berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, serta dapat pula
melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan jalannya pemerintahan.
Kondisi tersebut dengan sendirinya akan mencegah terjadinya penyimpangan
ataupun penyalahgunaan konstitusi.
Salah satu bentuk nyata pentingnya budaya sadar berkonstitusi bagi
pelaksanaan konstitusi adalah terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian tersebut
dilakukan untuk menentukan apakah suatu ketentuan dalam suatu undang-undang,
bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Namun Mahkamah Konstitusi dalam hal
ini tidak dapat bertindak secara aktif. Mahkamah Konstitusi hanya dapat
menjalankan wewenang tersebut jika ada permohonan pengujian suatu undang-undang
yang diajukan oleh masyarakat.
Dalam pengajuan permohonan inilah diperlukan adanya budaya sadar
berkonstitusi berupa kesadaran akan hak konstitusionalnya sebagai warga negara baik sebagai perorangan maupun
kelompok bahwa hak-hak konstitusional telah dilanggar oleh suatu ketentuan
undang-undang. Di sisi lain, juga diperlukan adanya kesadaran untuk mendapatkan
perlindungan atas hak konstitusional yang dilanggar dengan cara mengajukan
permohonan pengujian konstitusional atas ketentuan undang-undang yang
merugikannya. Jika tidak ada budaya sadar berkonstitusi, masyarakat tidak akan
mengetahui apakah haknya terlanggar atau tidak dan tidak melakukan upaya
konstitusional untuk mendapatkan perlindungan. Akibatnya, UUD 1945 akan banyak
dilanggar oleh ketentuan undang-undang sehingga pada akhirnya konstitusi hanya
akan menjadi dokumen di atas kertas tanpa dilaksanakan dalam praktik.
Di sisi lain, dalam budaya
berkonstitusi juga terkandung maksud ketaatan kepada aturan hukum sebagai
aturan main (rule of the game) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Segenap komponen bangsa harus bertindak
sesuai dengan aturan yang ditetapkan, serta apabila timbul permasalahan atau
sengketa, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum. Budaya mematuhi aturan
hukum merupakan salah satu ciri utama masyarakat beradab. Hal ini sangat
diperlukan terutama dalam konteks politik, misalnya dalam pelaksanaan Pemilu,
baik Pemilu legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, maupun Pemilukada.
Tanpa adanya kesadaran berkonstitusi,
yaitu kedasaran mematuhi rambu-rambu permainan dan mekanisme penyelesaian
sengketa, momentum politik yang sejatinya adalah untuk membentuk pemerintahan
yang demokratis dapat tergelincir ke dalam konflik yang justru merugikan
masyarakat serta kepentingan bangsa dan negara. Oleh karena itu, diperlukan
kesadaran baik bagi untuk peserta pemilu, penyelenggara pemilu, maupun pihak
dan lembaga lain yang memiliki peran dalam pelaksanaan Pemilu. Semua
permasalahan yang muncul harus dipercayakan dan diselesaikan melalui mekanisme
hukum yang telah ditentukan. Sebaliknya, lembaga yang memiliki kewenangan
terkait dengan pelaksanaan pemilu juga harus menjalankan wewenangnya dengan
baik.
Oleh karena itulah harus ada upaya
secara terus-menerus untuk membangun budaya sadar berkonstitusi. Budaya sadar berkonstitusi tercipta tidak hanya sekedar mengetahui
norma dasar dalam konstitusi. Lebih dari itu, juga dibutuhkan pengalaman nyata
untuk melihat dan menerapkan konstitusi dalam praktik kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, menumbuhkan budaya sadar
berkonstitusi adalah suatu proses panjang dan berkelanjutan.
Setiap warga negara dan
penyelenggara negara harus mempelajari dan memahami UUD 1945 melalui berbagai
cara dan berbagai media. Untuk itu informasi tentang konstitusi harus tersedia
agar mudah diakses dengan cepat dan mudah pula dipahami. Oleh karena itu,
peningkatan budaya sadar berkonstitusi tidak hanya dilakukan melalui forum tatap
muka, tetapi melalui berbagai bentuk kemasan dan media yang berbeda-beda.
Salah satu masalah yang
dihadapi dalam upaya mendekatkan UUD 1945 sebagai konstitusi kita kepada
masyarakat umum serta menumbuhkan the
living contitution adalah karena pembahasan masalah konstitusi dan materi
muatan yang terkandung di dalamnya selalu menggunakan kerangka pikir, rujukan
teori, dan rujukan praktik yang berasal dari luar negeri.
Untuk itu, diperlukan upaya
domestikasi UUD 1945, yaitu menjadikan UUD 1945 dan pengkajiannya dilakukan
dengan merujuk pada pengalaman bangsa Indonesia dan problem nyata yang dihadapi
oleh masyarakat. Pengkajian sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia selama ini
masih terbatas mulai penjajahan Belanda. Padahal, sebelumnya terdapat kerajaan-kerajaan
di wilayah nusantara yang memiliki sistem dan struktur ketatanegaraan
tersendiri yang dapat dibandingkan dengan sistem ketatanegaraan modern. Sebagai
contoh, pembagian fungsi kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif
sudah terbentuk walaupun kekuasaan Raja cukup dominan karena menjadi ketua dari
semua lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan tersebut. Bahkan prinsip
demokrasi juga mulai terlihat karena pengambilan keputusan diambil secara
musyawarah oleh wakil-wakil masyarakat, meskipun keputusan terakhir tetap ada
pada pimpinan tertinggi. Kenyataan-kenyataan sejarah tersebut dapat dijumpai di
kerajaan dan satuan pemerintahan lain di berbagai wilayah nusantara.
Dengan elaborasi pengalaman bangsa Indonesia sendiri dan
dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dalam UUD 1945, maka masyarakat akan
merasakan bahwa sistem dan pemikiran yang menjadi materi muatan UUD 1945 bukan
lagi sebagai hal yang asing, tetapi tumbuh dan berkembang seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia. Jika hal ini diiringi dengan
upaya mendekatkan UUD 1945 dengan masyarakat, misalnya melalui penulisannya
dalam bahasa dan huruf daerah, masyarakat dapat menjadikan UUD 1945 benar-benar
sebagai landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat
akan dapat mensikapi masalah yang dihadapi berdasarkan norma-norma
konstitusional. Hal ini menjadi awal dari berkembangnya kehidupan dan pemikiran
konstitusional sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat (the living constitution).
Kutipan dari : Makalah Prof.Jimly Ashiddiqie
Sahlan "Another of Me..."
0 Ocehan:
Posting Komentar