You Are Reading

0

MEMBANGUN BUDAYA SADAR BERKONSTITUSI

Pendekar MSRS Kamis, 26 Juli 2012 , ,

A.   KEDUDUKAN KONSTITUSI
Dalam pengertian yang sederhana, konstitusi adalah suatu dokumen yang berisi aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi. Organisasi dimaksud bera­gam bentuk dan kompleksitas struktur­nya, mulai dari orga­nisasi mahasiswa, perkumpulan masyarakat di dae­rah ter­ten­tu, serikat buruh, organisasi-organisasi kemasya­ra­kat­an, organisasi politik, organisasi bisnis, perkumpulan sosial sam­pai ke organisasi tingkat dunia seperti misalnya Perkum­pul­an ASEAN, European Communities (EC), World Trade Orga­nization (WTO), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan sebagainya semua­nya membutuhkan dokumen dasar yang disebut konstitusi.
Demikian pula negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Bahkan negara yang tidak memiliki satu naskah konstitusi seperti Inggris, tetap memiliki aturan-aturan yang tum­buh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan dan para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris, sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood and Jackson sebagai berikut” “a body of laws, customs and conventions that define the composition and powers of the organs of the State and that regulate the relations of the various State organs to one another and to the private citizen.”
Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu ter­cakup juga pengertian peraturan tertulis dan tidak tertulis. Peraturan tidak tertulis berupa kebiasaan dan konvensi-konvensi ke­negaraan (ketatanegaraan) yang me­nen­tukan susunan dan kedu­dukan organ-organ negara, meng­atur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang meng­ikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedau­latan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang dise­but oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewe­nangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diatur­nya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demo­krasi, rak­yatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Hal itu dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat, misalnya melalui referendum, seperti yang dilakukan di Irlan­dia pada tahun 1937, atau dengan cara tidak langsung melalui lembaga perwakilan rakyat. Dalam hubungannya dengan kewenangan mengubah UUD, cara tidak langsung ini misalnya dilakukan di Amerika Serikat dengan menambah­kan naskah perubahan Undang-Undang Dasar secara terpi­sah dari naskah aslinya. Meskipun, dalam pembukaan Konsti­tusi Amerika Serikat (preambule) terdapat perkataan “We the people”, tetapi yang diterapkan sesungguhnya ada­lah sistem perwa­kilan, yang pertama kali diadopsi dalam konvensi khusus (special convention) dan kemudian disetu­jui oleh wakil-wakil rakyat terpilih dalam forum perwakilan negara yang didirikan bersama.
Dalam hubungan dengan pengertian constituent po­wer tersebut di atas, muncul pula pengertian constituent act. Dalam hubungan ini, konstitusi dianggap sebagai consti­tuent act, bukan produk peraturan legislatif yang biasa (ordinary legislative act). Constituent power menda­hului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pe­me­rin­tahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Seperti dikatakan oleh Bryce, konstitusi tertulis meru­pakan:


“The instrument in which a constitution is embodied proceeds from a source different from that whence spring other laws, is regulated in a different way, and exerts a sovereign force. It is enacted not by the ordinary legislative authority but by some higher and specially empowered body. When any of its provisions conflict with the provisions of the ordinary law, it prevails and the ordinary law must give way”.

Karena itu, dikembangkannya pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Atas dasar logika demikian itulah maka Mahkamah Agung Amerika Serikat menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menguji materi peraturan produk legislatif (judicial review) terhadap materi konstitusi, meskipun Konstitusi Amerika tidak secara eksplisit memberikan kewenangan demikian kepada Mahkamah Agung.
Basis pokok berlakunya konstitusi adalah adanya kesepa­katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kunci­nya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepa­katan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi ke­kua­saan negara yang bersangkutan, dan pada gi­lir­annya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misal­nya, ter­cermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Ame­rika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun di In­do­nesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998.

B.   PERUBAHAN UUD 1945
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah reformasi konstitusional (constitutional reform). Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.
            Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang MPR dari 1999 hingga 2002. Perubahan pertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999. Arah perubahan pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.
Perubahan kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000. Perubahan kedua menghasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempumakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan­-ketentuan terperinci tentang HAM.
Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Perubahan tahap ini mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang asas-asas landasan bemegara, kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum. Sedangkan perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan Keempat tersebut meliputi ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.
Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, sedangkan perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan. Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25 (12%) butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 (88%) butir ketentuan merupakan materi yang baru atau telah mengalami perubahan.
Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar (concentration of power and responsibility upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis.
Setelah berhasil melakukan perubahan konstitusional, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah pelaksanaan UUD 1945 yang telah diubah tersebut. Pelaksanaan UUD 1945 harus dilakukan mulai dari konsolidasi norma hukum hingga dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 harus menjadi acuan dasar sehingga benar-benar hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution).

C.   NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS
Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD 1945 adalah prinsip negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’. Bahkan secara historis negara hukum (Rechtsstaat) adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno. Plato, dalam bukunya “the Statesman” dan “the Law”  menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk paling baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan. Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat” antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum. 
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. Saat ini, paling tidak dapat dikatakan terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu Supremasi Konstitusi (supremacy of law), Persamaan dalam Hukum (equality before the law), Asas Legalitas (due process of law), Pembatasan Kekuasaan (limitation of power), Organ Pemerintahan yang Independen, Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak (independent and impartial judiciary), Peradilan Tata Usaha Negara (administrative court), Peradilan Tata Negara (constitutional court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-rehtsstaats), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta Transparansi dan Kontrol Sosial.
Dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan pada aturan hukum.
Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures.
Namun demikian, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
Berdasarkan prinsip negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Oleh karena itu, aturan-aturan dasar konstitusional harus menjadi dasar dan dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar tentu saja berpengaruh terhadap sistem dan materi peraturan perundang-undangan yang telah ada. Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap jenis peraturan perundangan-undangan serta materi muatannya. Adanya perubahan UUD 1945 tentu menghendaki adanya perubahan sistem peraturan perundang-undangan, serta penyesuaian materi muatan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada dan berlaku.
Sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi, konstitusi memuat cita-cita yang akan dicapai dengan pembentukan negara dan prinsip-prinsip dasar pencapaian cita-cita tersebut. UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional. Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Pembukaan dan pasal-pasal adalah satu kesatuan norma-norma konstitusi yang supreme dalam tata hukum nasional (national legal order).
Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Cita-cita tersebut akan dilaksanakan dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berdiri di atas lima dasar yaitu Pancasila sebagaimana juga dicantumkan dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945.
Untuk mencapai cita-cita tersebut dan melaksanakan penyelenggaraan negara berdasarkan Pancasila, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal ini karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan konstitusi sosial yang harus menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market).
Sebagai konstitusi politik, UUD 1945 mengatur masalah susunan kenegaraan, hubungan antara lembaga-lembaga negara, dan hubungannya dengan warga negara. Hal ini misalnya diatur dalam Bab I tentang Bentuk Kedaulatan, Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementerian Negara, Bab  VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilu, Bab VIII tentang Hal Keuangan, Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab IX tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara Dan Penduduk khususnya Pasal 26, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 28I ayat (5), Bab XII tentang Pertahanan Dan Keamanan Negara, Bab XV tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang Dasar, Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan.
Sebagai konstitusi ekonomi, UUD 1945 juga mengatur bagaimana sistem perekonomian nasional seharusnya disusun dan dikembangkan. Ketentuan utama UUD 1945 tentang sistem perekonomian nasional dimuat dalam Bab XIV Pasal 33. Ketentuan tentang sistem perekonomian nasional memang hanya dalam satu pasal yang terdiri dari lima ayat. Namun ketentuan ini harus dielaborasi secara konsisten dengan cita-cita dan dasar negara berdasarkan konsep-konsep dasar yang dikehendaki oleh pendiri bangsa. Selain itu, sistem perekonomian nasional juga harus dikembangkan terkait dengan hak-hak asasi manusia yang juga mencakup hak-hak ekonomi, serta dengan ketentuan kesejahteraan rakyat.
Sebagai konstitusi sosial, UUD 1945 mengatur tata kehidupan bermasyarakat terutama dalam Bab X tentang Warga Negara Dan Penduduk khususnya Pasal 27 dan Pasal 28, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab XIII tentang Pendidikan Dan Kebudayaan, dan Bab XIV tentang Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Rakyat khususnya Pasal 34.

D.   BUDAYA SADAR BERKONSTITUSI
Kita tentunya menghendaki agar UUD 1945 merupakan konstitusi yang benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara demi tercapainya cita-cita bersama. Kontitusi mengikat segenap lembaga negara dan seluruh warga negara. Oleh karena itu, yang menjadi pelaksana konstitusi adalah semua lembaga negara dan segenap warga negara sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing sebagaimana diatur dalam UUD 1945.  Dalam perspektif hukum, kata “pelaksanaan” (implementation) terdiri dari dua konsep fungsional, yaitu; pertama, identifying constitutional norms and specifying their meaning; dan kedua, crafting doctrine or developing standards of review.
Agar setiap lembaga dan segenap warga negara dapat melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD 1945, diperlukan adanya budaya sadar berkonstitusi. Untuk menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi diperlukan pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma dasar yang menjadi materi muatan konstitusi. Pemahaman tersebut menjadi dasar bagi masyarakat untuk dapat selalu menjadikan konstitusi sebagai rujukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jika masyarakat telah memahami norma-norma dasar dalam konstitusi dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pasti mengetahui dan dapat mempertahankan hak-hak konstitusionalnya yang dijamin dalam UUD 1945. Selain itu, masyarakat dapat berpartisipasi secara penuh terhadap pelaksanaan UUD 1945 baik melalui pelaksanaan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, serta dapat pula melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan jalannya pemerintahan. Kondisi tersebut dengan sendirinya akan mencegah terjadinya penyimpangan ataupun penyalahgunaan konstitusi.
Salah satu bentuk nyata pentingnya budaya sadar berkonstitusi bagi pelaksanaan konstitusi adalah terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian tersebut dilakukan untuk menentukan apakah suatu ketentuan dalam suatu undang-undang, bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Namun Mahkamah Konstitusi dalam hal ini tidak dapat bertindak secara aktif. Mahkamah Konstitusi hanya dapat menjalankan wewenang tersebut jika ada permohonan pengujian suatu undang-undang yang diajukan oleh masyarakat.
Dalam pengajuan permohonan inilah diperlukan adanya budaya sadar berkonstitusi berupa kesadaran akan hak konstitusionalnya sebagai  warga negara baik sebagai perorangan maupun kelompok bahwa hak-hak konstitusional telah dilanggar oleh suatu ketentuan undang-undang. Di sisi lain, juga diperlukan adanya kesadaran untuk mendapatkan perlindungan atas hak konstitusional yang dilanggar dengan cara mengajukan permohonan pengujian konstitusional atas ketentuan undang-undang yang merugikannya. Jika tidak ada budaya sadar berkonstitusi, masyarakat tidak akan mengetahui apakah haknya terlanggar atau tidak dan tidak melakukan upaya konstitusional untuk mendapatkan perlindungan. Akibatnya, UUD 1945 akan banyak dilanggar oleh ketentuan undang-undang sehingga pada akhirnya konstitusi hanya akan menjadi dokumen di atas kertas tanpa dilaksanakan dalam praktik.
Di sisi lain, dalam budaya berkonstitusi juga terkandung maksud ketaatan kepada aturan hukum sebagai aturan main (rule of the game) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Segenap komponen bangsa harus bertindak sesuai dengan aturan yang ditetapkan, serta apabila timbul permasalahan atau sengketa, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum. Budaya mematuhi aturan hukum merupakan salah satu ciri utama masyarakat beradab. Hal ini sangat diperlukan terutama dalam konteks politik, misalnya dalam pelaksanaan Pemilu, baik Pemilu legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, maupun Pemilukada.
Tanpa adanya kesadaran berkonstitusi, yaitu kedasaran mematuhi rambu-rambu permainan dan mekanisme penyelesaian sengketa, momentum politik yang sejatinya adalah untuk membentuk pemerintahan yang demokratis dapat tergelincir ke dalam konflik yang justru merugikan masyarakat serta kepentingan bangsa dan negara. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran baik bagi untuk peserta pemilu, penyelenggara pemilu, maupun pihak dan lembaga lain yang memiliki peran dalam pelaksanaan Pemilu. Semua permasalahan yang muncul harus dipercayakan dan diselesaikan melalui mekanisme hukum yang telah ditentukan. Sebaliknya, lembaga yang memiliki kewenangan terkait dengan pelaksanaan pemilu juga harus menjalankan wewenangnya dengan baik.
Oleh karena itulah harus ada upaya secara terus-menerus untuk membangun budaya sadar berkonstitusi. Budaya sadar berkonstitusi tercipta tidak hanya sekedar mengetahui norma dasar dalam konstitusi. Lebih dari itu, juga dibutuhkan pengalaman nyata untuk melihat dan menerapkan konstitusi dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi adalah suatu proses panjang dan berkelanjutan.
Setiap warga negara dan penyelenggara negara harus mempelajari dan memahami UUD 1945 melalui berbagai cara dan berbagai media. Untuk itu informasi tentang konstitusi harus tersedia agar mudah diakses dengan cepat dan mudah pula dipahami. Oleh karena itu, peningkatan budaya sadar berkonstitusi tidak hanya dilakukan melalui forum tatap muka, tetapi melalui berbagai bentuk kemasan dan media yang berbeda-beda.
Salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya mendekatkan UUD 1945 sebagai konstitusi kita kepada masyarakat umum serta menumbuhkan the living contitution adalah karena pembahasan masalah konstitusi dan materi muatan yang terkandung di dalamnya selalu menggunakan kerangka pikir, rujukan teori, dan rujukan praktik yang berasal dari luar negeri.
Untuk itu, diperlukan upaya domestikasi UUD 1945, yaitu menjadikan UUD 1945 dan pengkajiannya dilakukan dengan merujuk pada pengalaman bangsa Indonesia dan problem nyata yang dihadapi oleh masyarakat. Pengkajian sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia selama ini masih terbatas mulai penjajahan Belanda. Padahal, sebelumnya terdapat kerajaan-kerajaan di wilayah nusantara yang memiliki sistem dan struktur ketatanegaraan tersendiri yang dapat dibandingkan dengan sistem ketatanegaraan modern. Sebagai contoh, pembagian fungsi kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif sudah terbentuk walaupun kekuasaan Raja cukup dominan karena menjadi ketua dari semua lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan tersebut. Bahkan prinsip demokrasi juga mulai terlihat karena pengambilan keputusan diambil secara musyawarah oleh wakil-wakil masyarakat, meskipun keputusan terakhir tetap ada pada pimpinan tertinggi. Kenyataan-kenyataan sejarah tersebut dapat dijumpai di kerajaan dan satuan pemerintahan lain di berbagai wilayah nusantara.
            Dengan elaborasi pengalaman bangsa Indonesia sendiri dan dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dalam UUD 1945, maka masyarakat akan merasakan bahwa sistem dan pemikiran yang menjadi materi muatan UUD 1945 bukan lagi sebagai hal yang asing, tetapi tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia. Jika hal ini diiringi dengan upaya mendekatkan UUD 1945 dengan masyarakat, misalnya melalui penulisannya dalam bahasa dan huruf daerah, masyarakat dapat menjadikan UUD 1945 benar-benar sebagai landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat akan dapat mensikapi masalah yang dihadapi berdasarkan norma-norma konstitusional. Hal ini menjadi awal dari berkembangnya kehidupan dan pemikiran konstitusional sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat (the living constitution).

Kutipan dari : Makalah Prof.Jimly Ashiddiqie
Sahlan "Another of Me..."

0 Ocehan:

Posting Komentar